Di kalangan sunni, khususnya di Indonesia, Imam al-Ghazali merupakan ulama yang masyhur. Imam al-Ghazali terkenal berkat keluasan ilmunya dalam segala bidang, mulai dari tasawuf, fikih, teologi hingga filsafat. Di samping itu, pemikiran Imam al-Ghazali menjadi rujukan serta pijakan dalam bidang tasawuf. Hal itu terbukti dari banyaknya karya Imam al-Ghazali yang dikaji di berbagai pesantren di Indonesia. Masterpeace Imam Ghazali, Ihya Ulumudin menjadi daya tarik tersendiri di kalangan pesantren, bahkan perguruan tinggi untuk mengkaji dan menelitinya. Di masa dinasti Abasiyah dan Saljuk, Imam al-Ghazali sangat dihormati dan disegani banyak orang. Sampai pada waktu itu, Imam al-Ghazali mendapat gelar Hujjatul Islam. Gelar ini disematkan kepada beliau karena kemampuan daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, manusia terbagi menjadi empat golongan Pertama, Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, dan dia Tahu kalau dirinya Tahu. Menurut al-Ghazali, kelompok pertama adalah orang-orang yang alim = mengetahui. Bagi orang awam, yang masih butuh bimbingan, sudah seharusnya mengikuti laku lampahnya orang alim tersebut. Sebab, duduk bersamanya akan menjadi pengobat hati sekaligus menambah wawasan. Orang yang termasuk golongan ini, senantiasa akan mengamalkan ilmunya semaksimal mungkin. Ia tahu kalau dirinya memiliki keluasan ilmu, sehingga harus mengajarkan serta mengamalkan ilmunya. “Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Manusia yang sukses dunia dan akhirat.” Kedua, Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri Seseorang yang Tahu berilmu, tapi dia Tidak Tahu kalau dirinya Tahu. Orang yang kedua ini berbeda dengan orang yang tergolong kelompok pertama. Kalau orang pertama, kita harus mengikutinya. Namun kepada orang kedua ini, kita mengingatkannya. Ia memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Orang seperti ini acapkali dijumpai di tengah-tengah kita. Ia sejatinya mempunyai segudang potensi yang luar biasa. Akan tetapi, orang tersebut tidak tahu akan potensi yang ada pada dirinya. Sehingga selama dia belum bangun dan sadar diri, orang ini hanya sukses di dunia tapi rugi di akhirat. Ketiga, Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang tidak tahu, tapi dia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang yang masuk kategori kelompok ketiga ini, menurut Imam al-Ghazali, masih tergolong manusia yang baik. Sebab, ia meenyadari kekurangan yang ada pada dirinya. Sehingga, ia mampu menempatkan dirinya di tempat yang sepatutnya. Orang jenis ini akan senantiasa intropeksi diri dan mau belajar dari sebuah kesalahan. Dengan belajar, ia berharap suatu saat nanti bisa berilmu dan mampu menjadi lebih baik lagi. Orang seperti ini sengsara di dunia tapi bahagia di akhirat. Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri Seseorang yang Tidak Tahu tidak berilmu, dan dia Tidak Tahu kalau dirinya Tidak Tahu. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, kelompok terakhir ini merupakan orang-orang yang paling buruk. Ia selalu merasa dirinya mengerti, tahu dan mempunyai ilmu. Padahal, ia tidak tahu apapun. Ibarat pepatah lama, tong kosong nyaring bunyinya. Tipologi orang seperti ini biasanya susah untuk disadarkan. Ia merasa benar dengan apa yang dikerjakannya dan akan membantah kalau diingatkan perihal kesalahan yang dilakukanya. Berurusan dengan orang yang seperti demikian akan terasa merepotkan dan susah. Sebab, ia merasa dirinya paling benar. Menurut Imam al-Ghazali, orang tersebut termasuk orang yang tidak sukses di dunia, juga merugi di akhirat. Untuk itu, mari kita senantiasa bermuhasabah atau intropeksi diri masing-masing agar menjadi pribadi yang lebih baik. *
PentingnyaAkhlak Menurut Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Mizan Al-Amal, akhlak merupakan bahan utama pemikirannya. Kebanyakan karya-karya akhirnya bersifat etis moralitas yang menjamin kebahagiaan sempurna. Teori etika yang dikembangkannya bersifat religus dan sufi. Hal itu terlihat jelas, dalam karya-karya akhirnya.
Berpasangan-pasangan adalah bagian dari ajaran syariat. Manusia diciptakan berpasang-pasangan agar dapat melanggengkan keturunan sesuai dengan tuntunan syariat agama Islam. Tetapi tentu saja dalam memilih pasangan hidup, Islam memberikan tuntunan. Imam Al-Ghazali menyebutkan delapan kriteria yang perlu diperhatikan dalam memilih pasangan. Imam Al-Ghazali menyebutkan delapan hal ini agar akad perkawinan menjadi langgeng dan kebahagiaan perkawinan terwujud. Imam Al-Ghazali menyebutkan religiusitas/keagamaan dan akhlak pada dua poin pertama. Hal ini menunjukkan bahwa dua poin tersebut merupakan faktor penting yang patut diperhatikan mengingat perkawinan tidak hanya berisi jalinan hubungan di dunia, tetapi juga di akhirat. أما الخصال المطيبة للعيش التي لا بد من مراعاتها في المرأة ليدوم العقد وتتوفر مقاصده ثمانية الدين والخلق والحسن وخفة المهر والولادة والبكارة والنسب وأن لا تكون قرابة قريبة Artinya, “Adapun hal-hal menyenangkan kehidupan pasangan rumah tangga yang harus diperhatikan pada perempuan agar akad perkawinan menjadi langgeng dan tujuan perkawinan terpenuhi berjumlah 8 hal yaitu ketaatan pada agama atau religiusitas, akhlak, kecantikan, keringanan mahar, kesuburan, status keperawanan, nasab, dan bukan kerabat dekat,” Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr 2015 M], juz II, halaman 43. Tanpa menafikan atau meremehkan poin lainnya, agama/religiusitas dan akhlak mendapat tempat yang cukup penting mengingat urgensinya yang cukup tinggi dalam kehidupan rumah tangga kelak. Agama menempati poin pertama sebagaimana hadits nabi yang sangat populer terkait kriteria calon pasangan. Perempuan salihah akan membantu ketenangan hati suami. Kalau tidak salehah, tentu perempuan tersebut akan menjadi ujian bagi kehidupan rumah tangganya. إِنَّ الْمَرْأَةَ تُنْكَحُ لَدِينِهَا، وَمَالِهَا، وَجَمَالِهَا، فَعَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ Artinya, “Perempuan dinikahi karena agama, harta, dan keelokannya. Pilihlah karena agamanya. Celakalah kamu kalau tidak agamanya itu,” HR Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ahmad. Tentu saja delapan poin ini bukan sesuatu yang mutlak dan absolut bagi semua orang. Tidak semua orang setuju dengan delapan hal yang disebutkan di atas. Tetapi semua orang bersepakat pada sebagian poin di atas, misalnya soal religiusitas atau akhlaknya. Dengan kata lain, setiap orang berhak memiliki kebahagiannya masing-masing sehingga setiap orang memiliki rumusan sendiri dalam memilih calon pasangannya. Sebagian orang merasa nyaman memilih pasangan yang disukainya tanpa mempertimbangkan status keperawanan, nasab, dan kesuburan. Tetapi seyogianya seseorang perlu mempertimbangkan aspek religiusitas dan akhlak pasangan karena keduanya sangat berpengaruh pada kehidupan rumah tangganya ke depan. Delapan poin ini juga tidak hanya berlaku bagi laki-laki dalam memilih pasangan, tetapi juga berlaku sebaliknya. Sumber NU Online
KataKunci: Al -Ghazali, Ilmu, epistemologi, filsafat ilmu A. Pendahuluan Dalam kitabnya Al Ghazali mengungkapkan bahwa manusia bisa menangkap realitas sebagai sumber ilmu dengan dua cara, yaitu dengan melakukan pengamatan dan dilanjutkan dengan penalaran serta dengan menyibak tabir-tabir intuisi untuk menemukan kebenaran sejati. Lr61iX.